
“Tentara menutup Pondok ini. Sedangkan ayah saya (Tuan Abdullah) sudah 8 tahun hijrah karena dicari tentara Siam,” ujarnya
Luka Baliyan semakin kuat ketika kakaknya ikut tewas satu bulan setelah Pondok ditutup. “Dia ditembak saat melaksanakan Shalat di Masjid,” ujarnya.
Pembunuhan ini sangat membekas di hati Baliyan dan keluarga. Dia mendesak pihak tentara untuk mengungkap siapa pelaku pembunuh kakaknya. Tentu, ditembaknya seorang muslim ketika sedang shalat adalah pelecehan terhadap agama Islam. Namun, hingga kini tentara tetap enggan memenuhi keinginan Baliyan dan keluarga.
Tudingan teroris memang telah menjadi “makanan” sehari-hari bagi Pondok Pesantren di Patani. Meski tidak ada bukti aktivitas persenjataan, pihak Pemerintah bersikeras menuding Pondok telah menjadi sarang terorisme.
“Kita disini hanya belajar kitab dari Jawi, belajar Al Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya,” kata Jawahir, Ibu Baliyan.
Sebenarnya, sematan Pondok Al Jihad sebagai sarang terorisme menjadi bumerang bagi tentara itu sendiri. Ditutupnya Pondok tanpa adanya bukti persenjataan membuat pihak pemerintah memutar otak untuk menutupi kesalahannya. Termasuk memberi iming-iming uang dua juta baht sebagai ganti rugi.
“Mereka datang untuk menyuap kami, tapi kami tolak,” kata Baliyan.
“Kami tidak butuh uang itu. Kami hanya ingin tahu siapa pelaku pembunuh kakak kami!” tegasnya.
Jawahir mencium pembredelan Pondok tidak lebih sebagai cara pemerintah menahan laju Islam di Patani. Pemerintah Thailand dinilai cemburu karena Pondok-pondok Islam mampu memberikan dampak positif bagi pemuda Patani. Padahal, di sekolah-sekolah milik pemerintah, para pemuda ini justru dibuang.
Dengan menjauhkan para pemuda dari Islam, maka pemerintah Thailand ingin memutus satu generasi Islam di bumi Thailand. Dan, target dari pemerintah tampaknya benar-benar tercapai jika melihat sebagian para pemuda Patani saat ini. “Mereka kini tidak lagi mengenali halal dan haram,” kata Qosim, Imam Masjid Pondok Al Jihad.
Qosim mencontohkan banyaknya para pemuda Patani memilih menjadi tentara pemerintah. Saat menjadi tentara, mereka justru terlibat aktif untuk mengawasi umat Islam. “Bahkan mereka ikut memerangi saudaranya di Patani,” jelas Qosim.
Derita muslim Patani ditambah dengan adanya seribu muslimah menikah dengan para tentara yang beragama Budha. Padahal, hal itu jauh dari tuntutan agama. Ironisnya, banyak dari pernikahan tersebut hanya berujung dengan air mata.
“Mereka ditinggal para tentara bersama janin yang dikandungnya,” ujar Qosim sedih.
Luka bagi Qosim belumlah usai. Dia merasa sangat iba mengetahui banyak para pemuda Patani menjadi pecandu narkoba. “Inilah ulah kerajaan Budha untuk menjauhkan pemuda dari Islam,” terangnya.
Kini Baliyan, Qosim, Zawahid dan aktivis Hak Asasi Manusia di Patani mencoba meraih keadilan di Pengadilan. Mereka melakukan gugatan hukum atas tindakan sewenang-wenang pihak pemerintah menutup Pondok Al Jihad dan membakar kitab-kitab di dalamnya.
“Gugatan ke pengadilan sudah berlangsung setahun. Meski kami tahu peluangnya tipis,” imbuh Baliyan.
Source : https://www.islampos.com
No comments:
Post a Comment