
“Saya menghormati keputusan pengadilan” ujar Balyan selaku anak Abdullah Weamanor. Sebagian besar cerita kasus ini bahwa orang tua saya yang dikeluarkan surat perintah untuk penangkapan dan penahanan adalah sumber dalam merampas dan tarik harta tanah dengan tersebut bukan pemilik sertifikat tanah dan kepala sekolah pondok ini, saya yakin bahwa peradilan sudah diketahui “keluarga pun tidak dapat ketahui bahwa apa yang telah melakukan oleh ayahnya tapi masalah tanah saya juga sudah menjelaskan bahwa tanah ini pemiliknya orang lain, akan tetapi peradilan mempunyai data-fakta sebagai buktinya lalu memutuskan ditarik milik ke tanah negara, saya juga telah melawan secara proses hukum walau kes tersebut kita akan kalah maupun menang akan hormati keputusannya”.
“Pondok Jihad” nama sebuah pondok yang pernah dilaporkan oleh beberapa media bahwa sebagai sumber masalah sejak awal mulai konflik di Patani, sebab warga masyarakat termasuk juga pegawai pemerintah tidak meyakin atas kepercayaan, walaupun kalangan Muslim secara keseruruhan apabila menyebut kalimat “Jihad” adalah perjuangan dan merupa hasil usha melakukan kebaikan, selama 11 tahun status pondok ini telah ditutup panjang dan larang belajar mengajar dengan kasus terlibat sampai kepala sekolah dan guru besar salah satu termasuk Saudara Abdullah Weamanor, sehingga keluarganya menjadi sasaran pemerintah dan tidak senang dan beberapa anggota keluarga ditembak dan dibunuh dengan jalur luar system hukum lalu tempo 11 tahun ini penuh dengan problem yang lebih rapuh.
Kasus tersebut dimulai pada tahun 2005, terkait dengan informasi pekikan dari dua orang dituduh pelaku teror ke pegawai pemerintah bahwa mereka telah melatih bersenjata pada lokasi pondok tersebut, kasus ini terlibat sebayak 36 orang yang dikeluarkan surat penangkapan untuk penahanan mengikut kes pelaku teror sehingga terlibat sebagai pemberontak dan mafia, karena mereka telah berjuang untuk pembebaskan, dalam jumlah tersebut sebagian melari berpindah tidak menyerah diri dan seramai 18 orang menyerah diri terus melawan secara proses hukum peradilan sehingga dibebasakan dengan alasan tidak cukup dalam mempunyai bukti sebarangan kasus tersebut.
Di antara mereka yang melarikan diri adalah Abdullah Weamanor selaku kepala Sekolah “Pondok Jihad Wittiya” ini karena termasuk juga kasus pidana, di sisi lain “Badan Anti-Pencucian Uang” (Anti-Monney Laundering Office-AMLO), Jaksa diwakili telah membawa kasus ini ke Pengadilan Sipil meminta penahanannya karena penggunaan lahan untuk mendukung terorisme. Bukti dalam kasus ini adalah kesaksian dua orang terdakwa dalam kasus pidana, yang menyatakan bahwa mereka memiliki pelatihan senjata di sekolah pondok ini tersubut. Lalu keputusan peradilan pada Desember 2015 akan merampas tanah ditarik ke harta negara dengan mengikut atas permohonan AMLO.
“Luasan tanah sebanyak 14 hektar terkandung dalam keturunan keluarga sebanyak lima orang” kata Balyan “Pemiliknya berada di berbeda-beda tempat, karena sudah berkeluarga hanya saya harus tinggal di sini dan meneruskan cita-cita pondok ini ”. Ibunya adalah salah satu dari lima bersaudara, manakala ayah sebagai menantu yang menikah dengan ibu saya dan dapat mandate untuk bertangjawab dalam manajemen pendidikan selaku kepala sekolah oleh karena keturunan dalam keluaganya tidak mempunyai anak laki-laki, walaupun hak dasar milik ayah saya Abdullah tidak berhak atas pemilik tanah Cuma bertanggungjawab menjabat sebagai kepala sekolah saja. Pesanan ini juga meragukan keluarga dan orang sekitarnya pada hukum pelanggaran terhadap orang yang tidak bersangkutan dan mengapa ditarik bukan miliknya.
Tanah ini bukan milik ayahnya, properti segala harta kekayaan atas tanah ini adalah sekolah, bangunan, asrama termasuk tempat ibadah dianggap milik kolektif keluarga namun bisa diangkap juga milik masyarakat umum, oleh karena waktu awal berdiri warga desa dan masyarakat sekitarnya telah memberi sumbangan segala bantuan secara fisik dan material dalam usha membangunkan sebuah pusat ilmu untuk kemasyarakatan.
“Sewaktu awal keluarganya mulai berdiri pondok orang disini amat disukai bahwa akan tumbuhnya pusat ilmu yang menyediakan sebagai misi dakwah menyebarkan pengetahuan untuk kemasyarakatan lalu di wakaf menjadi milik public” Balyan mengatakan lagi “Sekarang keluarga kalah dalam melawan kasus, kita harus pindah dari sini jika masih tetap tinggal mungkin adanya tuntutan kesalahan, Walaupun salah satu alternatif adalah untuk mengajukan banding, tetapi kita memilih untuk tidak melakukannya. Telah banyak pegawai pemerintah datang berbicara mengajurkan banding, bagi keluarga pun merasa aneh bahwa kenapa pegawai disuruhi untuk banding kasus lagi pada hal mereka sendirilah yang telah menggugat kita deputi setuju untuk mengambil dengan kami pula”.
Pertemuan keluarga dengan warga untuk membahas mencari solusinya. Balyan mengatakan “Bahwa keduanya termasuk warga desa serta alumni menemukan solusi akan usha membantu dalam pemcarian tempat tinggal baru, untuk sementara ini harus meninggal di masjid sebagai tempat perlindung untuk sementara. Namun hari juga ada kedatangan oleh pihak tentara apabila dapat ketahui bahwa kami akan berangkat keluar dari lalu ditanya kenapa tidak diberitahu kepada pihak tentara terlebih dahulu, saya juga menjawab sudah cukup dengan tenaga warga desa yang siap membantu dan harus juga hormat keputusan saya”
Selain itu, Ayah telah melarikan diri, abang saya telah ditembak mati sewaktu perkuliahan di Indonesia yang mana pulang ke rumah sementara dan salah satu kasus dari tiga provinsi ini yang belum dapat ditangkap pelaku kesalahan. Seorang pegawai tinggi pernah menawarkan dukungan bantuan dana untuk pemulihan jiwa tapi keluarga Weamanor menolak dengan menjelaskan terutama dibutuhkan adalah usha menangkap pelaku kasus kematian abang secepat mungkin. Selain itu, sebelum rampas properti sekolah, pihak pegawai polisi telah rampas juga sebuah mobil pig-up miliki Balyan yang telah beli selama tiga bulan dengan dituduh bahwa kenderaan tersebut pernah diguna dalam melakukan teror, sehingga kini belum dapat kembali “dan saya juga tidak tahu bahwa akan mengutgat sama siapa, malah tahu bahwa sedang melawan dengan siapa”
Karena dengan beberapa alasan ini keluarga telah memutuskan untuk tidak mengajukan banding. “Saya ingin mengakhiri gugatan kasus iaitu tidak dapat mempertahan lagi dengan 11 tahun yang telah menepuhi dengan berbagai macam dikerahkan oleh tentara, ada ditangkap saya, Abang ditembak, jika kasus banding lagi akan tidak pernah berakhir dan akan didatangi lagi mencari saya dan keluarga, kami tidak ingin hidup seperti ini, kita ingin hidup yang normal seperti orang lain”.
Source : TUNAS_Humanright
Credit Photo: Arqom Ahmad.
No comments:
Post a Comment